Monday 7 January 2013

Kajian Hukum Adat


KONSEP DASAR HUKUM ADAT
      Konsep dasar hukum adat dapat ditelaah dari pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Sehingga dapat dikatakan bahwa adat merupakan pola tingkah laku kebiasaan suatu suku bangsa. Namun demikian terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli mengenai konsep hukum adat. Diantaranya adalah:
a. Menurut Prof. Mr. C. van Vollenhoven
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Aturan-aturan tingkah laku bagi pribumi dan Timur Asing  yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).
b. Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn.
            Hukum adat adalah aturan adat yang mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan petugas hukum seperti kepala adat, hakim, dan lain-lain, baik di dalam maupun di luar persengketaan. Ajaran dari Ter Haar ini terkenal dengan ajaran keputusan (fungsionaris hukum).
c. Menurut Roelof van Dijk
            Hukum adat adalah suatu istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi dalam kalangan orang pribumi dan Timur Asing. Lebih lanjut untuk membedakan antara peraturan-peraturan hukum dari peraturan adat lainnya di pasang kata hukum di depan kata adat. Sehingga hukum adat dan adat bergandengan erat.
d. Menurut Prof. Holleman
            Hukum adat adalah norma-norma hukum yang hidup yang disertai sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan.
e. Menurut Mr. J.H.P. Bellefroid
            Hukum adat adalah sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa tetapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
f. Menurut Prof. Logemann
            Hukum adat adalah norma-norma pergaulan hidup bersama, yaitu peraturan-peraturan tingkah laku yang harus diturut oleh segenap warga pergaulan hidup bersama itu. Norma-norma tersebut mempunyai sanksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa norma yang memiliki sanksi adalah norma hukum.
g. Menurut Mr. L.W.C. van den Berg
            Berdasarkan teori receptio in complexu, hukum adat adalah sama dengan hukum agama yang dianut oleh sekelompok orang tertentu. Jadi tegasnya kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.
h. Menurut Mr. Is. H. Cassutto
            Hukum adat adalah segenap aturan-aturan yang dipengaruhi oleh magis dan animisme (pemujaan roh-roh luhur, hukuman dari kekuatan-kekuatan gaib, dan sebagainya).
i. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo
            Hukum adat adalah adat yang telah mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential moment) yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di luar sengketa. Pandangan Kusumadi ini sependapat dengan Ter Haar, tetapi tidak sepenuhnya sama, karena menurut Kusumadi meskipun tidak mendapatkan sifat (dan bentuk hukum) hukum melalui penetapan yang dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum, hukum adat tetaplah ada dan hidup di masyarakat.
j. Menurut Prof. Dr. Supomo S.H.
            Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis (unstatutary law) di dalam peraturan legislatif yang meliputi :
  1. Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen, dewan propinsi, dan sebagainya).
  2. Hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law).
  3. Hukum yang hidup sebagai kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan baik di kota maupun desa (customary law).
k. Menurut Dr. Sukanto
            Hukum adat adalah sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.
l. Menurut Prof. M.M. Djojodigoeno
            Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan. Pokok pangkal hukum adat adalah ugeran-ugeran dan timbul langsung sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih.
m. Menurut Prof. Dr. Hazairin
            Hukum adat adalah perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat dan mendapat pengakuan masyarakat. Meskipun berbeda, tetapi kaidah hukum dan kaidah kesusilaan memiliki kaitan yang sangat erat. Kaidah hukum juga memiliki unsur sanksi dan paksaan.
            Demikianlah beberapa pendapat para ahli mengenai hukum adat. Ada beberapa poin yang menjadi perbedaan tegas antara pemahaman para ahli dari Barat dengan pemahaman para ahli nasional. Perbedaan pemahaman yang paling menonjol adalah bagi pemikiran Barat hukum (termasuk hukum adat) selalu identik dengan adanya sanksi. Sedangkan bagi pemikiran nasional, meskipun ada juga beberapa ahli nasional yang menganut pemahaman sanksi, hukum adat lebig bertitikberatkan pada keseimbangan. Di mana pada sistem masyarakat yang paguyuban, hidup bersama secara komunal dengan diikat oleh adanya aturan tingkah laku sangatlah lebih bermakna. Sedangkan unsur sanksi hanyalah sekadar unsur penunjang dari adanya konsep keseimbangan tersebut, tetapi tetap bukan unsur yang esensial.
         Sebenarnya ada banyak perbedaan pandangan antara pemahaman yang  saya pegang dengan pemahaman para ahli di atas. Namun untuk memudahkan penjelasan saya ada baiknya jika sedikit dijelaskan tentang hukum sebagai norma sosial yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Pemahaman yang saya peroleh adalah berdasarkan tulisan Prof. Dr. Peter Machmud, S.H., M.S., LL.M. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (bab 2). Penjelasan dinamika hukum yang terdapat pada buku beliau menurut saya sangat relevan jika dikaitkan dengan konsep hukum adat. Dijelaskan bahwa:
  1. Hukum dalam masyarakat primitif tumbuh melalui tuntutan individual dan kesadaran akan perlunya aturan (opinio necessitatis) yang didasarkan pada praktik-praktik dan pengalaman-pengalaman di masyarakat.
  2. Kesepakatan bersama terhadap suatu aturan tingkah laku.
  3. Hasil kerjasama masyarakat.
  4. Pandangan yang sama terhadap garis kewenangan.
  5. Merupakan perkembangan yang tidak disadari (proses muncul dan tumbuhnya aturan hukum).
Kelima hal di atas merupakan alasan adanya hukum di masyarakat. Sebab kelima hal tersebut berkaitan dengan hak dan kewajiban, jadi bukan sekedar kebiasaan. Jika dikaitkan dengan hukum adat, maka kelima hal tersebut merupakan alasan adanya hukum adat di masyarakat tertentu.
            Dalam hal konsep hukum adat, menurut pemahaman saya adat adalah sama dengan kebiasaan dan hukum sama juga pengertiannya dengan hukum adat. Sebab kata adat identik dengan pola kebiasaan yang berakar pada karakter jiwa suatu suku bangsa. Pengertian kebiasaan lebih ke arah praktik-praktik yang sedang terbentuk. Sedangkan definisi kebiasaan perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang tanpa adanya rasio yang digunakan dan berdasarkan keyakinan (berkaitan dengan hal supranatural) bahwa perbuatan yang diulang-ulang itu adalah baik. Tetapi seiring dengan perkembangan pengalaman-pengalaman dan praktik-praktik yang ada, tiap-tiap anggota masyarakat memiliki pegangan norma kebiasaan yang berbeda-beda. Sehingga apabila terjadi perselisihan antar individu dalam satu komunal, maka penyelesaian melalui kebiasaan sangatlah tidak efektif.
            Karakter norma / aturan hukum dalam masyarakat primitif (tetapi juga dalam masyarakat adat) adalah norma hukum bersifat self enforcing dalam tiap anggota karena adanya sistem pembagian fungsi yang pasti, dan sistem kewajiban timbal balik yang ketat dalam hidup bermasyarakat.
Berangkat dari pemahaman saya di atas, maka unsur yang sangat esensial dari hukum adalah aturan-aturan yang tumbuh dan hidup di masyarakat haruslah diterima oleh segenap anggota dengan berdasarkan tuntutan dan kesadaran akan perlunya aturan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban agar memiliki kekuatan yang mengikat. Jadi bukanlah sanksi yang dipahami oleh para ahli seperti van Vollenhoven, Holleman, Logemann, Soekanto, dan Hazairin. Dalam hal ini sanksi hanyalah unsur tambahan saja untuk melindungi hak dan kewajiban tiap anggota. Pemahaman mengenai hukum yang identik dengan sanksi ini tentu berakar dari konsep aliran Positivis John Austin yang mengatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa dengan disertai sanksi. Ini tentu pemahaman yang salah sebab hukum tidak identik dengan sanksi yang lebih lekat dengan karakteristik hukum Pidana.
            Sedangkan pemahaman teori fungsionaris juga pada hakekatnya mengikuti pemahaman Positivis John Austin, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa hukum baru ada karena adanya masyarakat yang terorganisasikan. Sebab jika berpedoman pada pemahaman ini, maka aturan tingkah laku yang tidak dibuat oleh penguasa “formal” bukanlah hukum, tetapi hanya sebatas aturan tingkah laku saja. Jadi jika dalam suatu masyarakat tidak dijumpai adanya organisasi “formal” maka tidak dijumpai pula adanya hukum. Akibatnya yang disebut hukum menurut pandangan semacam ini adalah suatu aturan yang dibuat oleh mereka yang memang ditugasi untuk membuatnya meskipun dalam bentuknya yang masih sederhana. Pandangan ini dianut oleh Ter Haar dan Holleman, yang pada dasarnya berpandangan bahwa “…adalah aturan adat yang mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan petugas hukum seperti kepala adat, hakim, dan lain-lain, baik di dalam maupun di luar persengketaan.”
           Sebenarnya yang menjadi hal esensial adalah aturan-aturan yang hidup dan tumbuh di masyarakat adalah aturan-aturan tersebut bersifat konsensus dan berdasarkan tuntutan individual dan kesadaran akan pentingnya suatu aturan (opinio necessitatis).  Sehingga aturan yang bersifat “formal” tidak diperlukan selama anggota-anggota kelompok menyepakati aturan-aturan tingkah laku yang benar. Jadi apakah aturan itu dibuat oleh penguasa “formal” ataukah oleh masyarakat yang terbentuk karena praktik-praktik yang cukup panjang secara esensial tidk berbeda. Keduanya merupakan aturan yang ditaati masyarakat. Dan masalah adanya peraturan dan aturan tidak tertulis hanyalah terletak pada hal teknis, tetapi tidak menggerus makna esensial dalam hukum.
            Sedangkan masalah aturan hukum adat yang tidak dikodifikasi maupun yang dikodifikasi seperti yang disinggung oleh para ahli seperti Roelof van Dijk dan van Vollenhoven hanyalah sekadar masalah teknis pula, yang tidak menjadi unsur esensial hukum, sehingga tidak terlalu penting untuk dibicarakan.
Berkaitan dengan pemahaman van den Berg, dengan teorinya receptio in complexu, bahwa hukum adat identik hukum agama yang dianut pada masyarakat tertentu, juga menurut saya itu merupakan proses akulturasi saja antara hukum adat dan hukum agama seperti yang terdapat pada masyarakat Bali. Tetapi pada masyarakat Minangkabau teori receptio in complexu van den Berg menjadi tidak berarti karena meskipun masyarakat Minang mayoritas menganut agama Islam tetapi dalam praktik-praktik hukum sehari-hari tidaklah identik / sama dengan hukum agama Islam. Persoalan akulturasi ini juga secara pribadi tidak menjadi polemik, sebab persoalan hukum adat yang identik / sama dengan hukum agama adalah soal substansi kaidah hukumnya saja dan tidak menggerus makna yang esensial dari hukum.
Sedangkan persoalan mengenai hukum adat adalah segenap aturan-aturan yang dipengaruhi oleh magis dan animisme (pemujaan roh-roh luhur, hukuman dari kekuatan-kekuatan gaib, dan sebagainya) sebagaimana yang diutarakan oleh Mr. Is. H. Cassutto, menurut saya itu adalah hal yang salah. Sebab kesadaran hukum tiap-tiap anggota masyarakat tentu berdasarkan pada rasio dan tuntutan individual yang sadar akan hak dan kewajiban. Jika masih berkaian dengan hal-hal yang berbau magis dan animis, maka hal tersebut tentu adalah pola-pola kebiasaan.
           Secara keseluruhan, saya sependapat dengan Mr. J.H.P. Bellefroid yang berpendapat bahwa hukum adat adalah sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum dan Prof. Dr. Supomo S.H. yang berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup sebagai kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan baik di kota maupun desa (customary law). Kedua pendapat tersebut menurut saya adalah benar sebab bukanlah sanksi maupun perintah penguasa yang menjadi esensi hukum, tetapi kesepakatan bersama dan ditaati oleh tiap anggota yang berdasarkan pada rasio dan kesadaran akan hak dan kewajiban. Meskipun pada pemahaman Soepomo konvensi (asas-asas umum peraturan yang baik) merupakan hukum adat. Hal itu adalah salah besar. Sebab asas-asas umum peraturan yang baik merupakan pedoman-pedoman dalam jalannya pemerintahan yang tidak tertulis.
           Demikian juga saya setuju dengan pendapat Prof. M.M. Djojodigoeno, bahwa pokok pangkal hukum adat adalah ugeran-ugeran dan timbul langsung sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih. Aturan yang berdasarkan kesepakatan bersama tentu saja berdasarkan rasa keadilan dalam tiap-tiap anggota masyarakat. Hubungan pamrih yang dimaksud juga berkaitan dengan hubungan hukum dan hak dan kewajiban, seperti sewa menyewa misalkan.
         Sedangkan menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo yang sependapat dengan Ter Haar bahwa hukum adat adalah adat yang telah mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential moment) yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di luar sengketa, meskipun tidak sepenuhnya sama, karena menurut Kusumadi meskipun tidak mendapatkan sifat (dan bentuk hukum) hukum melalui penetapan yang dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum, hukum adat tetaplah ada dan hidup di masyarakat. Pendapat Kusumadi pun saya sependapat. Sebab persoalan adanya penetapan atau tidak dari yang berwenang merupakan persoalan teknis formal saja, tetapi yang terpenting adalah ada atau tidaknya penetapan dari yang berwenang, aturan hukum tetaplah ditaati oleh masyarakat.

Tuesday 1 January 2013

Kronologi Pembakaran SMA 2 Lapandewa



Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sehubungan dengan adanya tindakan pengrusakan gedung SMA Negeri 2 Lapandewa dan 1 unit  rumah pribadi milik warga Lapandewa Makmur atas nama LA SOSI oleh masa warga Masyarakat Adat Lapandewa Kaindea. Maka dengan ini kami masyarakat adat Lapandewa Kaindea menyampaikan laporan kronologis kejadian pengrusakan bangunan tersebut agar kiranya kami  mendapat pertimbangan dan perlindungan hukum adalah sebagai berikut:
1.       Berawal dari adanya penyerobotan lahan perkebunan tanah milik masyarakat Lapandewa Kaindea oleh masyarakat Lapandewa Makmur pada tahun 2005. Kemudian adanya pengrusakan tanaman jambu mente di masing-masing lahan perkebunan kami kemudian jambu diganti dengan tanaman jati oleh masyarakat  Lapandewa Makmur. Sehingga pada tahun 2010, dengan itikad baik masyarakat adat kami mengundang tokoh masyarakat Lapandewa Makmur dirumah adat            ( galampa ) Lapandewa Kaindea. Namun sampai pada undangan kami yang ketiga  dalam waktu yang berbeda masyarakat  Lapandewa Makmur  tidak pernah mengindahkan undangan kami tersebut. Sikap yang ditunjukan oleh Lapandewa Makmur ketika itu sangat menciderai hubungan persaudaraan diantara kami yang sudah  terjalin kokoh selama puluhan atau ratusan tahun sejak kakek leluhur kami terdahulu.   
2.       Bahwa tujuan kami sebagaimana pada poin satu tersebut adalah agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan cara adat untuk menemukan solusi yang terbaik antara kami masyarakat adat Lapandewa Kaindea dengan masyarakat Lapandewa Makmur.

3.       Bahwa sebagai mana tercantum pada poin satu dan dua tersebut mengalami jalan buntu maka pada tanggal 4 desember tahun 2010 diadakan pertemuan antara masyarakat adat  Lapandewa Kaindea dengan Lapandewa Makmur di kantor camat yang dimediasi oleh pemerintah Kecamatan Lapandewa. Namun pada pertemuan tersebut Kepala Desa Lapandewa Makmur meminta untuk diadakan sumpah adat dengan tujuan menentukan tapal batas antara kami Lapandewa Kaindea dengan Lapandewa Makmur. Padahal batas perkebunan masyarakat Lapandewa Kaindea dengan Lapandewa Makmur sudah ada sejak jaman dahulu dan diantara kami tidak pernah saling melewati batas tersebut sebagai mana yang telah ditentukan oleh leluhur kami  terdahulu. Adapun batas perkebunan antara kami masyarakat adat Lapandewa Kaindea dengan Lapandewa Makmur adalah sebagai berikut : dari (Cidhu,Wabancahawu, Kadoku,sampai di Katakoa) Batas inilah yang dipegang oleh kedua desa selama berpuluh bahkan ratusan tahun berdasarkan kesepakatan antara al marhum Ama La Wunga alias (La Ndege) selaku parabela Lapandewa Kaindea dan Ama Beu selaku tokoh adat Lapandewa Makmur waktu.  
4.       Bahwa atas permintaan Lapandewa Makmur, kami masyarakat adat Lapandewa Kaindea menyetujui dengan baik permintaan Lapandewa Makmur untuk diadakan sumpah adat  tersebut persoalanya adalah setelah tiba waktu pelaksanaan sumpah adat dilokasi yang telah ditentukan, tiba-tiba tokoh adat dari Lapandewa Makmur mengingkari dalam hal ini sudah tidak mau untuk melaksanakan sumpah adat  sehingga pada saat itu timbul reaksi masyarakat Lapandewa Kaindea  mendesak agar sumpah adat segera dilaksanakan. Sehingga atas desakan masyarakat Lapandewa Kaindea sumpah adatpun dilaksanakan oleh  tokoh adat kedua desa. Pada tahap ini dapat dilihat sikap Lapandewa makmur kembali mengecewakan Masyarakat Lapandewa  Kaindea.  sebab pada awalnya sumpah adat kedua desa diminta oleh La Sanco (Kepala Desa Lapandewa Makmur) setelah tiba waktu pelaksanaan sumpah ditempat yang telah ditentukan yakni diwanculepani, tokoh adat Lapandewa Makmur ingkar dengan dalih bahwa isu sumpah itu atas permintaan dari Lapandewa kaindea. Padahal waktu itu nyata sekali Kepala Desa Lapandewa Makmur (La Sanco) yang meminta sumpah adat itu di Kantor Camat dihadapan Camat Lapandewa dan Kepala Desa Lapandewa Kaindea. Ketika isu permintaan sumpah adat berubah Lapandewa Kaindea dituduh sebagai yang meminta sumpah adat maka kami anggap  adalah bentuk pengkhianatan yang  sangat mengecewakan Masyarakat adat Lapandewa Kaindea. Hal menarik yang perlu kita simak dibalik persoalan sumpah adat adalah adanya pertemuan yang diadakan diLapandewa Makmur menghadirkan Parabela Sempa-sempa, Parabela Rongi, Parabela Kaongke-ongkea, Parabela Wasaga,Parabela Wabula. Pada pertemuan tersebut bertujuan menetapkan tapal batas antara Lapandewa Kaindea dan Lapandewa Makmur. Padahal pada pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh tokoh adat Lapandewa Kaindea dan Lapandewa Tambunaloko. Camat Lapandewa Drs La Nihu M.Si mengaku bahwa pertemuan tersebut beliau sempat hadiri akan tetapi tidak mau menandatangani hasil keputusan musyawarah tersebut. Pada point  akhir tercantum bahwa apabila Lapandewa Kaindea tidak menyetujui hasil keputusan musyawarah beberapa Parabela tersebut dalam hal ini penetapan tapal batas antara Lapandewa Kaindea dan Lapandewa makmur maka akan diadakan sumpah adat. Dengan demikian setelah sumpah adat dilaksanakan maka keputusan yang dihadiri oleh beberapa Parabela tersebut dianggap batal dengan sendirinya.        
5.       Bahwa lokasi SMA Negeri 2 Lapandewa adalah masuk dalam wilayah ( kadie ) tanah adat Lapandewa Kaindea. Sesuai dengan pernyataan sumpah adat oleh Tokoh Adat ( Parabela ) Lapandewa Kaindea saat itu. Yakni sebagaimana yang terdapat pada point tiga diatas.
6.       Bahwa SMA Negeri 2 Lapandewa dihibahkan oleh masyarakat Lapandewa Makmur ( Sempa-sempa ) bukan masyarakat Adat Lapandewa Kaindea.
7.       Bahwa sejak dilaksanakan pembangunan SMA Negeri 2 Lapandewa kami telah melakukan upaya-upaya dalam bentuk keberatan-keberatan akan tetapi tidak pernah diindahkan walaupun sudah di Fasilitasi oleh Pemerintah Kecamatan Lapandewa. Termasuk pernah diusulkan pembangunan Fasilitas SMA Negeri 2 Lapandewa melalui PNPM-MP tahun anggaran 2011 kamudian usulanya ditolak oleh pengelola Program tersebut karena lokasi bermasalah.
8.       Bahwa setelah usulan pembangunan fasislitas SMA Neg.2 Lapandewa melalui Program PNPM-MP Tahun Anggaran 2011 ditolak oleh pengelolah program karna lokasinya bermasalah. kemudian muncul pengumuman pada portal LPSE Kabupaten Buton tentang pengadaan bangunan ruang kelas SMAN 2 Lapandewa pada Tanggal 23 Juli 2012 yang berlokasi di atas tanah yang masih dalam status sengketa antara masyarakat Adat Lapandewa Kaindea dengan masyarakat Lapandewa Makmur(SEMPA-SEMPA). Maka pada tanggal 25 Agustus 2012 kami masyarakat adat Lapandewa Kaindea mengirimkan surat Pernyataan sikap kepada Bapak Bupati Buton dipasarwajo  yang intinya adalah kami menolak segala bentuk upaya usaha atau apapun yang intinya membangun bangunan dilokasi ( Kadie ) yang dikuasai oleh masyarakat adat Lapandewa Kaindea kecuali dihibahkan oleh masyarakat adat Lapandewa Kaindea secara sadar.
9.       Bahwa menanggapi surat pernyataan sikap  kami tersebut maka pada tanggal 25 September 2012 pemerintah daerah Kabupaten Buton mengundang kami masyarakat adat Lapandewa Kaindea dengan Lapandewa Makmur sebagai bentuk mediasi untuk mencari penyelesaian masalah tersebut.

10.   Adapun hasil pertemuan sebagai mana pada poin Sembilan diantaranya adalah pembangunan SMA Negeri 2 untuk sementara dihentikan sambil menunggu putusan pengandilan. Masyarakat adat lapandewa kaindea disarankan untuk menggugat di pengadilan atas kepemilikan lokasi tersebut dan diberikan waktu selama satu bulan untuk menyusun gugatan. Dan apabila selama satu bulan ternyata gugatan Lapandewa Kaindea belum masuk di pengadilan maka pembangunan akan dilanjutkan. Namun baru kurang lebih satu minggu berlalu dari pertemuan tersebut pembangunan ternyata telah dilanjutkan. Kenyataan ini sangat mengecewakan masyarakat Lapandwa Kaindea.
11.   Bahwa setelah dilanjutkanya pembagunan SMA Negeri 2 tersebut maka pada tanggal 18 Oktober 2012 masyarakat adat Lapandewa Kaindea kembali mengirimkan pernyataan sikap yang ke dua kepada Bapak Bupati Buton dipasarwajo yang intinya kami menganggap dengan dilanjutkanya pembangunan SMA Negeri 2 Lapandewa maka berarti hasil kesimpulan rapat penyelesaian sengketa lokasi pembangunan SMA Negeri 2 Lapandewa telah batal dengan sendirinya dengan demikian kami pun tidak akan mengajukan gugatan Kepengadilan Negeri Pasarwajo sebab kami menganggap bahwa peretemuan yang dimediasi oleh pemerintah Daerah Kabupaten Buton tidak pernah terjadi.
12.   Bahwa menanggapi pernyataan sikap kami sebagai mana pada poin sebelas maka kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Buton menjamin bahwa tidak akan dilanjutkan pembangunan gedung SMA Negeri 2 Lapandewa sebelum sengketa lahan lokasi tersebut diselesaikan. Namun ternyata pada hari sabtu tanggal 1 Desember 2012 beberapa warga Lapandewa kaindea kembali menyaksikan pembangunan SMA Negeri 2 Lapandewa  dilanjutkan kembali. Oleh karena itu Masyarakat Adat Lapandewa Kaindea merasa terus dihianati sehingga menimbulkan emosi warga yang menyebabkan timbulnya tindak pengrusakan terhadap gedung SMA Negeri 2 Lapandewa tersebut.
13.   Bahwa diantara salah satu penyebab timbulnya emosi warga Masyarakat Lapandewa Kaindea adalah dengan terbitnya sertifikat tanah dilokasi SMA Negeri 2 Lapandewa tersebut pada tahun 2012 yang notabene lokasi tersebut masih dalam status sengketa. Lokasi sekolah bermasalah sejak awal dan semua pihak mulai dari pemerintah daerah, aparat kepolisian, khususnya Kepala Dinas Pendidikan sudah mengetahuinya  sejak  tahun 2011, akan tetapi tiba-tiba terbit sertifikat tanah lokasi SMA N 2 Lapandewa pada tahun 2012. Kekecewaan masyarakat Lapandewa Kaindea makiin dan tidak terkendali sehingga menimbulkan amukan masa pada hari selasa tanggal 4 Desember 2012 yakni melakukan tindak pengrusakan terhadap kedua bangunan tersebut.  
14.   Bahwa Dasar terhadap adanya pengrusakan rumah pribadi milik Saudara La Sosi warga Lapandewa Makmur oleh masyarakat adat Lapandewa kaindea adalah Sejak mulai didirikanya pondasi bangunan rumah tersebut tokoh adat Lapandewa kaindea ( Sara ) telah melakukan pemanggilan terhadap Saudara  La Sosi  pada tanggal 2 April 2011 yang intinya adalah tokoh adat Lapandewa Kaindea ( Sara ) menyarankan kepada Saudara La Sosi agar tidak membangun rumah dilokasi tersebut. Namun Saudara La Sosi bersikeras untuk tetap mendirikan rumah dilokasi tersebut dan siap menanggung segala resiko bila terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap bangunan rumah yang berlokasi berdekatan dengan gedung SMA Negeri 2 Lapandewa tersebut.
15.   Bahwa setelah terjadi tindak pengrusakan terhadap dua bangunan tersebut maka pada hari jumat tanggal 7 Desember 2012,masyarakat adat Lapandewa Kaindea dan Lapandewa Makmur diundang oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buton untuk melakukan pertemuan di kantor Bupati guna mencari solusi penyelesaian atas masalah kasus sengketa lahan pembangunan SMA N 2 Lapandewa, akan tetapi pada pertemuan  yang dihadiri oleh banyak unsur diantaranya adalah Kasad Brimob Polda Sulawesi Tenggara, Badan Pertanahan Negara, perwakilan dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Buton, dan masih ada yang lain oleh pihak Lapandewa Makmur tidak juga menghadiri undangan Pemda Kabupaten Buton.
16.   Bahwa pada hari Sabtu tanggal 8 Desember 2012 dalam upaya mengungkap pelaku pengrusakan maka Bapak Kapolres Buton datang berkunjung di Desa Lapandewa Kaindea, seluruh warga  berkumpul dirumah adat (galampa) menyambut kedatangan Bapak Kapolres Buton dengan baik. Dalam sambutannya ditengah-tengah masyarakat  beliau minta dengan tulus agar seluruh pelaku menyerahkan diri. Atas permintaan Kapolres seluruh warga masyarakat menyatakan siap untuk ditangkap. Karena pelaku pengrusakan adalah seluruh masyarakat Lapandewa Kaindea .Oleh karena itu masyarkat tidak mau kalau hanya sebahagian warga yang dibawa di kantor polisi. Melihat kondisi ini Bapak Kapolres Buton dengan penuh rasa bijak memutuskan untuk tidak mengangkut masyarakat kekantor Polisi. Seluruh warga masyarakat disuruh pulang kerumahnya masing-masing.
17.   Pada Sabtu malam setelah gagal mengangkut warga kekantor polisi terjadi aksi penggerebekan oleh aparat kepolisian terhadap rumah warga masyarakat Lapandewa Kaindea yang tinggal dibau-bau sebahagian besar mereka adalah mahasiswa dan tukang ojek, malam itu juga  warga masyarakat dibagunkan tengah malam kemudian dibawa dikantor polisi. Pihak keluarga yang ditahan sampai hari ini masih disekam oleh perasaan panik, karena kedatangan aparat kepolisian tengah malam disaat keluarga terlelap tidur. Sudah satu minggu berlalu mereka masih ditahan dikantor polisi (Polres Buton) Pasarwajo.

18.   Aksi penahanan beberapa orang warga masyarakat Lapandewa Kaindea oleh aparat kepolisian tidak diterimah seluruh warga masyarakat Lapandewa Kaindea karena disamping cara penangkapnnya yang tidak procedural juga karena gerakan ini dibangun atas keinginan bersama seluruh warga masyarakat Lapandewa Kaindea. Oleh karena itu kalau ingin melakukan aksi penangkapan mestinya seluruh warga masyarakat harus ditahan karena semua bertanggung jawab atas pengrusakan bangunan sekolah dan rumah pribadi La Sosi terserbut.
19.   Harapan masyarakat Lapandewa Kaindea kepada pemerintah daerah kabupaten buton adalah agar masalah ini dapat disikapi dengan cara bijak dan adil jangan hanya melihat aksi pengrusakan akan tetapi juga melihat sumbernya kenapa aksi pengrusakan itu terjadi. Dalam hal ini sudah ditahu lokasi itu bermasalah tetapi kenapa tetap dipaksakan didirikan dilokasi yang masih dalam status sengketa.
20.   Dalam kondisi yang belum kondusif  dirasakan oleh masyarakat Lapandewa Kaindea karena menuai beberapa kali dikhianati dan dizalimi oleh masyarakat Lapandewa Makmur tiba-tiba muncul sertifikat tanah dilokasi tanah adat yang disengekatan. Sertifikat tersebut atas nama Pemerintah Daerah cq Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Buton. Tanah adat yang masih dalam sengketa  tiba-tiba disertifikatkan .Oleh karena itu supaya masalah ini tidak berlarut-larut maka harus segera diselesaikan dalam waktu secepatnya untuk dapat memberikan rasa keadilan kepada warga masyarakat Lapandewa Kaindea. Kalau tidak maka ini jelas akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena menyangkut pengkebirian hak-hak dan kehormatan adat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buton. Khususnya yang semenatara ini ditahan agar segera dikembalikan sehingga dapat bertemu dengan keluarganya.

Demikian Surat  Laporan Kronologis tindak pengrusakan gedung SMA N 2 Lapandewa oleh masyarakat Lapandewa Kaindea, besar harapan kami untuk ditanggapi dengan sebaik-bainya agar kiranya kami mendapatkan PERLINDUNGAN HUKUM dan atas perkenan bapak kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh